VIVAnews - Alexander, 30 tahun, seorang calon pegawai negeri sipil di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Dharmasraya, mengundang heboh ketika ketahuan menjadi pembuat halaman "Ateis Minang" di Facebook. Aan, begitu Alexander dipanggil, nyaris diamuk massa sebelum akhirnya diamankan polisi.
"Di grup Ateis Minang, Alex menjadi adminnya. Di situ dia membuat tulisan, intinya tidak percaya Tuhan dan agama," ujar Kepala Kepolisian Resor Dharmasraya, Ajun Komisaris Besar Chairul Aziz, saat berbincang dengan VIVAnews.com, Jumat 20 Januari 2012.
Menurut Chairul, dalam tulisan di grup itu, Alexander menggunakan Al-Quran dan cerita nabi-nabi Islam sebagai bahan kajian. "Dengan kisah-kisah itu timbul ketidakpercayaan pada Islam. Ada dialog-dialognya," kata dia.
Chairul mengatakan, tulisan-tulisan Aan itu kemudian mendapat tanggapan dari orang-orang yang bergabung dengan grup Facebook yang dibikinnya. Banyak hujatan dialamatkan kepada Aan yang semula belum diketahui identitasnya itu. "Tulisan Aan itu menjadi polemik dan konflik. Ada tanya jawab dan saling hujat," ujar Chairul.
Perdebatan di dunia maya itu segera menyebar. Sejumlah orang kemudian berusaha mencari siapa sebenarnya pemilik grup Ateis Minang ini. "Kemudian dilacak oleh masyarakat, ketemu dan ternyata pegawai Pemda. Saat ketemu dia sedang buka Facebook juga," kata Chairul.
Mereka kemudian terlibat perdebatan dengan Aan. Di hadapan mereka, Aan terang-terangan menyatakan tidak mengakui keberadaan Tuhan. Seperti diberitakan koran terbitan Padang, Singgalang, Aan menyatakan, "Kalau memang ada Tuhan, mengapa ada kejahatan, kemiskinan. Saya tak percaya surga serta neraka. Oleh sebab itu, sudah merupakan premis saya Tuhan itu tidak ada."
"Masyarakat jadi tidak suka, sempat dipukul. Kemudian Aan melapor ke Polsek dan diamankan untuk keselamatannya," ujar Chairul.
Awalnya Aan diamankan di markas Polsek Pulau Punjung. Polisi memindahkan Alex ke Markas Polres Dharmasraya untuk keamanannya. Saat diperiksa polisi, Alex juga secara terang-terangan mengakui sebagai ateis.
Tak bisa diterima
Sejumlah organisasi massa dan Majelis Ulama Indonesia setempat melaporkan Aan ke polisi dengan tudingan penodaan agama karena menggunakan Al Quran dan cerita-cerita Nabi untuk menyatakan ketidakpercayaannya pada Tuhan.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Cabang Sumatera Barat Syamsul Bahri Khatib pun menyayangkan sikap Alexander yang membawa nama Minang. "Ini melukai seluruh masyarakat Minang, sendi dasar agama sudah dirusak," kata Syamsul Bahri Khatib pada VIVAnews. Minang, suku utama di Sumatera Barat, memang memiliki filosofi "Adat bersendi syarak (agama), syarak bersendi kitabullah."
Menurut Buya Syamsul, sikap anti tuhan yang disebarkan pemilik akun Facebook Alexander Aan ini bertentangan dengan semua agama. Bahkan, keyakinan yang dipertahankan Alex itu dinilainya tidak cocok berkembang di Indonesia. "Ini kan bertentangan dengan Pancasila, tentunya paham ateis tidak bisa diterima di Indonesia," katanya.
Berkembangnya pemikiran ateis tersebut, menurutnya, tidak sepenuhnya bisa menyalahkan sejumlah pihak seperti ulama. Menurutnya, persoalan keyakinan seseorang yang sudah dewasa sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi. "Pertanyaannya, bukan di mana peran ulama, tapi di mana ia belajar seperti itu?"
Polisi kemudian memeriksa apakah laporan itu memenuhi unsur-unsur yang dituduhkan. "Kami cari pasal-pasalnya, ternyata memenuhi unsur pidana penodaan agama. Dia terkena Pasal 156a KUHP Ayat 1 dan 2," kata Chairul.
Alumnus Statistik Universitas Padjajaran, Bandung, itu pun diancam dengan pasal lain yang diatur dalam Undang-undang Informatika dan Transaksi Elektronik. Total, Alexander diancam dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE, Pasal 156 A KUHPidana tentang penodaan agama dan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat dengan ancaman masing-masing 6 tahun penjara.
Polisi pun memutuskan untuk menahan Aan. "Aan ditahan di Polres karena ancaman hukumannya lebih dari lima tahun. Selain itu, penahanan akan lebih aman bagi dia karena masyarakat yang resah semakin marah kepadanya," ujar Chairul.
Dirangkul, bukan dipukul
Zuhairi Misrawi, Direktur Moderate Muslim Society, mengimbau polisi untuk tidak membawa Aan ke pengadilan. Menurut Gus Mis, pasal "penodaan agama" sebaiknya tidak dipakai karena berpotensi melebarkan masalah sehingga justru tidak menyelesaikan masalah.
Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, ini menyarankan pendekatan yang dipakai untuk Aan adalah dialog. Islam, kata Gus Mis, sudah mengatur hak seseorang menjadi kafir atau kufur termasuk juga tidak percaya pada Tuhan. Aturan itu, kata Gus Mis, ada dalam Surat Al Kahfi ayat 29 yang artinya, "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".
"Dalam menghadapi kasus Aan, yang pertama harus dilihat adalah latar belakang Aan. Kedua, menasihati dia dengan cara elegan. Dirangkul, bukan dipukul," kata aktivis Nahdlatul Ulama itu.
Jika belum bisa juga menyadarkan Aan atas keberadaan Tuhan, barulah dilakukan dialog. "Sudah berhenti di sana. Biarkan Tuhan nanti yang menghakimi dia, bukan polisi," kata Misrawi.
Gus Mis sendiri melihat, ada pelajaran yang bisa dipetik dari Aan ini. Hal itu tampak dari pernyataan Aan, "Kalau memang ada Tuhan, mengapa ada kejahatan, kemiskinan."
"Kritik Aan itu atas iman kita yang mengawang-awang, tak membumikan iman untuk mewujudkan keadilan sosial," ujar Gus Mis. Dan pemerintah, kata Gus Mis, berperan besar menjawab masalah kejahatan dan kemiskinan itu, bukan justru mengadili Aan.(np)
• VIVAnews
http://nasional.vivanews.com/news/read/282106-alexander--ateis-di-negeri-bersendi-syarak
"Di grup Ateis Minang, Alex menjadi adminnya. Di situ dia membuat tulisan, intinya tidak percaya Tuhan dan agama," ujar Kepala Kepolisian Resor Dharmasraya, Ajun Komisaris Besar Chairul Aziz, saat berbincang dengan VIVAnews.com, Jumat 20 Januari 2012.
Menurut Chairul, dalam tulisan di grup itu, Alexander menggunakan Al-Quran dan cerita nabi-nabi Islam sebagai bahan kajian. "Dengan kisah-kisah itu timbul ketidakpercayaan pada Islam. Ada dialog-dialognya," kata dia.
Chairul mengatakan, tulisan-tulisan Aan itu kemudian mendapat tanggapan dari orang-orang yang bergabung dengan grup Facebook yang dibikinnya. Banyak hujatan dialamatkan kepada Aan yang semula belum diketahui identitasnya itu. "Tulisan Aan itu menjadi polemik dan konflik. Ada tanya jawab dan saling hujat," ujar Chairul.
Perdebatan di dunia maya itu segera menyebar. Sejumlah orang kemudian berusaha mencari siapa sebenarnya pemilik grup Ateis Minang ini. "Kemudian dilacak oleh masyarakat, ketemu dan ternyata pegawai Pemda. Saat ketemu dia sedang buka Facebook juga," kata Chairul.
Mereka kemudian terlibat perdebatan dengan Aan. Di hadapan mereka, Aan terang-terangan menyatakan tidak mengakui keberadaan Tuhan. Seperti diberitakan koran terbitan Padang, Singgalang, Aan menyatakan, "Kalau memang ada Tuhan, mengapa ada kejahatan, kemiskinan. Saya tak percaya surga serta neraka. Oleh sebab itu, sudah merupakan premis saya Tuhan itu tidak ada."
"Masyarakat jadi tidak suka, sempat dipukul. Kemudian Aan melapor ke Polsek dan diamankan untuk keselamatannya," ujar Chairul.
Awalnya Aan diamankan di markas Polsek Pulau Punjung. Polisi memindahkan Alex ke Markas Polres Dharmasraya untuk keamanannya. Saat diperiksa polisi, Alex juga secara terang-terangan mengakui sebagai ateis.
Tak bisa diterima
Sejumlah organisasi massa dan Majelis Ulama Indonesia setempat melaporkan Aan ke polisi dengan tudingan penodaan agama karena menggunakan Al Quran dan cerita-cerita Nabi untuk menyatakan ketidakpercayaannya pada Tuhan.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Cabang Sumatera Barat Syamsul Bahri Khatib pun menyayangkan sikap Alexander yang membawa nama Minang. "Ini melukai seluruh masyarakat Minang, sendi dasar agama sudah dirusak," kata Syamsul Bahri Khatib pada VIVAnews. Minang, suku utama di Sumatera Barat, memang memiliki filosofi "Adat bersendi syarak (agama), syarak bersendi kitabullah."
Menurut Buya Syamsul, sikap anti tuhan yang disebarkan pemilik akun Facebook Alexander Aan ini bertentangan dengan semua agama. Bahkan, keyakinan yang dipertahankan Alex itu dinilainya tidak cocok berkembang di Indonesia. "Ini kan bertentangan dengan Pancasila, tentunya paham ateis tidak bisa diterima di Indonesia," katanya.
Berkembangnya pemikiran ateis tersebut, menurutnya, tidak sepenuhnya bisa menyalahkan sejumlah pihak seperti ulama. Menurutnya, persoalan keyakinan seseorang yang sudah dewasa sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi. "Pertanyaannya, bukan di mana peran ulama, tapi di mana ia belajar seperti itu?"
Polisi kemudian memeriksa apakah laporan itu memenuhi unsur-unsur yang dituduhkan. "Kami cari pasal-pasalnya, ternyata memenuhi unsur pidana penodaan agama. Dia terkena Pasal 156a KUHP Ayat 1 dan 2," kata Chairul.
Alumnus Statistik Universitas Padjajaran, Bandung, itu pun diancam dengan pasal lain yang diatur dalam Undang-undang Informatika dan Transaksi Elektronik. Total, Alexander diancam dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE, Pasal 156 A KUHPidana tentang penodaan agama dan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat dengan ancaman masing-masing 6 tahun penjara.
Polisi pun memutuskan untuk menahan Aan. "Aan ditahan di Polres karena ancaman hukumannya lebih dari lima tahun. Selain itu, penahanan akan lebih aman bagi dia karena masyarakat yang resah semakin marah kepadanya," ujar Chairul.
Dirangkul, bukan dipukul
Zuhairi Misrawi, Direktur Moderate Muslim Society, mengimbau polisi untuk tidak membawa Aan ke pengadilan. Menurut Gus Mis, pasal "penodaan agama" sebaiknya tidak dipakai karena berpotensi melebarkan masalah sehingga justru tidak menyelesaikan masalah.
Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, ini menyarankan pendekatan yang dipakai untuk Aan adalah dialog. Islam, kata Gus Mis, sudah mengatur hak seseorang menjadi kafir atau kufur termasuk juga tidak percaya pada Tuhan. Aturan itu, kata Gus Mis, ada dalam Surat Al Kahfi ayat 29 yang artinya, "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".
"Dalam menghadapi kasus Aan, yang pertama harus dilihat adalah latar belakang Aan. Kedua, menasihati dia dengan cara elegan. Dirangkul, bukan dipukul," kata aktivis Nahdlatul Ulama itu.
Jika belum bisa juga menyadarkan Aan atas keberadaan Tuhan, barulah dilakukan dialog. "Sudah berhenti di sana. Biarkan Tuhan nanti yang menghakimi dia, bukan polisi," kata Misrawi.
Gus Mis sendiri melihat, ada pelajaran yang bisa dipetik dari Aan ini. Hal itu tampak dari pernyataan Aan, "Kalau memang ada Tuhan, mengapa ada kejahatan, kemiskinan."
"Kritik Aan itu atas iman kita yang mengawang-awang, tak membumikan iman untuk mewujudkan keadilan sosial," ujar Gus Mis. Dan pemerintah, kata Gus Mis, berperan besar menjawab masalah kejahatan dan kemiskinan itu, bukan justru mengadili Aan.(np)
• VIVAnews
http://nasional.vivanews.com/news/read/282106-alexander--ateis-di-negeri-bersendi-syarak